Photo Dr. Yoman ketika membuka Kongres ke 18 PGBP di Wamena. Senin, 11/12/2017 |
1. Pendahuluan
Selama ini, pemerintah Republik Indonesia dengan kekuatan TNI/Polri dengan ringan hati, ringan pikiran dan ringan tangan dan tampil sebagai pahlawan penyelamat NKRI, dengan kekejaman, kekerasan dan kejahatannya membantai rakyat Timor Leste sebelum mereka merdeka, membantai rakyat Aceh sebelum Perjanjian Helsinki. Dan sedang membantai rakyat dan bangsa West Papua sampai saat ini dengan alasan perlu dibersihkannya para kaum separatis yang melawan dan membahayakan NKRI.
Pemerintah dengan kekuatan TNI/Polri, kekuatan dana, undang-undang sedang sibuk menghalangi perjuangan rakyat & bangsa West Papua, sementara di halaman sendiri & di depan moncong hidungnya ada persemaian bibit-bibit/benih-benih Separatisme ditanamkan secara sadar, sistimatis yang dimulai dari anak-anak Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama.
2. Rumah Persemaian Separatisme di Jawa Tengah
SD Al-Albani dan SMP Al-Irsyad di Kab. Karanganyer, Jawa Tengah, jelas-jelas menjadi rumahnya persemaian bibit-bibit Separatisme di pulau Jawa.
Kepala Sekolah Dasar Al-Albani, Heru Ihwanuddin lebih moderat dengan memberikan ruang dan kebebasan kepada murid-muridnya dalam memandang ideologi, nasionalisme dan lambang-lambang kebangsaan Indonesia.
Sementara Sutardi, Kepala Sekolah Menengah Al-Irsyad lebih ekstrim dan tegas mengatakan bahwa kaum Muslim tidak perlu menyembah benda Bendera Merah Putih sebagai benda mati. Sutardi lebih takut kepada Tuhan daripada menyembah benda-benda mati.
Di SD Al-Albani dan SMP Al-Irsyad, berdiri dengan satu keyakinan bahwa tidak perlu Upacara dan hormat bendera Merah Putih, membaca Pancasila dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.( Sumber berita: MetroTV, Agus Suyatno).
Pertanyaannya ialah apakah pola pendidikan seperti ini melawan Pancasila, UUD45 & membahayakan keutuhan NKRI? Sudah saatnya kita MENCABUT TANAMAN LIAR DALAM HIDUP BANGSA MELANESIA di West Papua
West Papua adalah wilayah pendudukan dan koloni Indonesia sebagai penjajah moderen. Maka suatu keharusan untuk Mencabut dan Membongkar Tanaman Liar Dalam Hidup Bangsa Melanesia di West Papua.
Untuk mempertegas bagian ini, penulis memulai dari pernyataan Dr. Veronika Kusumaryati, seorang putri generasi muda Indonesia dalam disertasinya yang berjudul: Ethnography of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua.
Veronika menegaskan: “
“Indonesia sesungguhnya kolonial moderen di West Papua. Ini fakta yang sulit dibantah secara antropologis dan sejarah dan realitas hari ini”. Dr. Veronika Kusumaryati, Numbay (Jayapura) West Papua, 10 Agustus 2018).
Ia melanjutkan: “… Orang Papua tidak berpatisipasi dalam perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda dan Jepang. Orang Papua juga memiliki pengalaman kolonial yang sangat berbeda dengan Indonesia. Pengalaman inilah yang menjadi salah satu kunci argumen orang Papua” (2018:20).
Veronika lebih jauh menegaskan:
“Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalaman dan militerisasi kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga bisa dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditunjukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. Tetapi seperti yang saya tulis di bab 3 dan 7, kisah-kisah ini tidak muncul di buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Kekerasan ini pun tidak berhenti pada tahun 1960an.” (hal. 25).
Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando mengakui: “Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial & Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka” (2009:169).
Apa yang diakui Sintong Panjaitan adalah fakta kejahatan Militer Indonesia yang Menghancurkan Hati Nurani dan Masa Depan Rakyat West Papua
Fakta sejarah membuktikan bahwa sesungguhnya mayoritas 95% rakyat West Papua memilih merdeka dan berdiri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat penuh.
Pemerintah Amerika Serikat juga mengakuinya. “Bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA).
Sedangkan Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui:
“Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.”(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
“Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
4. Di Jawa Menolak dan kita cabut Tanaman Liar
Karena fakta-fakta sejarah kekerasan dan kejahatan TNI yang dijelaskan tadi, maka tanaman liar yang ada dalam pikiran dan hati rakyat dan bangsa West Papua sudah saatnya dicabut dan dibongkar buang dan menanam kembali tanaman yang asli dan benar.
Tanaman liar yang dimaksud penulis ialah simbol-simbol dan lambang-lambang dan ideologi kolonial yang dipaksakan tanam dalam hidup rakyat dan bangsa West Papua: Pancasila, UUD45, Bhineka Tunggal Ika, lagu Indonesia Raya, 17 Agustus 1945, para pahlawan nasional Melayu Indonesia dan sejarah Indonesia adalah kumpulan tanaman liar harus dicabut dan membuangnya.
Sudah saatnya nilai-nilai luhur budaya, bahasa dan sejarah identitas bangsa West Papua: Sejarah 1 Desember 1961, New York Agreement 15 Agustus 1962, Roma Agreement, Pepera 1969 dan nama pahlawan harus diajarkan kepada pemiliknya.
Terima kasih.
Ita Wakhu Purom, 20/08/ 2018; 18:38PM.
Penulis: Presiden Baptis Papua oleh Dr. Socratez S.Yoman, M.A
0 komentar:
Posting Komentar